Senin, 01 April 2013

Belajar dari Seorang Muallaf




Malam ini rasanya hampa sekali. Ku berbaring diperaduan dan ingin sekali kupejamkan mata ini. Namun mata ini tetap tak mau terpejam. Mataku menerawang jauh kedalam sunyinya malam. Handphone yang selama ini selalu aktif berbunyi kini ikut terdiam bersamaku. Ya..pacarku kini telah pergi dari kehidupanku. Kini hidupku terasa sepi tanpa kehadirannya.
Aku bangkit dari lamunanku. Aku berdiri dan beranjak menuju kesebuah meja yang berada tidak jauh dari tempat peraduanku. Aku duduk, aku nyalakan lampu belajar untuk menerangi kegelapanku malam itu, aku ambil sebuah buku dan sebuah pena. Kutulis semua beban pikiranku pada selembar kertas putih yang telah menunggu untuk ditulis.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Entah kenapa aku masih belum terima dia pergi dari kehidupan aku. Kini hari-hariku terasa sunyi. Aku kangen. Aku ingin kembali seperti dulu. Kembali melukis cinta kasih dengannya. Dengan seseorang yang kusayangi.
Ting nong..
Bel rumahku berbunyi. Aku bergegas keluar dan membukakan pintu. Ada seorang wanita berjilbab yang sangat cantik dan anggun. Ia menggunakan gamis dan menggunakan kerudug panjang yang menutupi badannya. Inerbeauty ia dipancarkannya membuatku tercengang melihatnya.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam. Maaf anda cari siapa?”
“Perkenalkan saya Aisyah.”
“Martha.” Kami bersalaman dan cipika cipiki seolah kami sudah sangat dekat.
“Saya datang kesini ingin memberikan ini sebagai tanda syukuran karena kami baru saja pindah kesini.”
“Oh terimakasih.” Aku mengambil kotak makanan yang ia antarkan. “Mba pindah kerumah yang disebelah rumah Haji Romlah ya?”
“Iya benar sekali.”
“Kalau begitu ayo masuk mba.”
“Tidak usah, terimakasih. Saya mau mengantarkan makanan lagi untuk yang lain. Saya permisi dulu. Assalami’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Aku sangat takjub melihat kecantikan yang ia pancarkan walaupun ia mengenakan jilbab.
Sudah seminggu setelah kejadian malam itu aku sering sekali memperhatikannya. Aku baru tau kalau ia adalah seorang muallaf. Ia masuk Islam sejak tiga tahun yang lalu. Ia sangat baik hati dan suka memberi makan pengemis ataupun anak jalanan. Ia juga menjadi seorang guru ngaji.
“Assalamu’alaikum mba Aisyah.” Sapaku sambil mendekatinya yang tengah duduk membaca Al-Qur’an diberanda rumahnya.
“Wa’alaikum salam. Maaf mba, saya ganggu ya?”
“Oh..tidak. ayo silahkan duduk disini.” Meski ia tengah membaca Al-Qur’an namun ia tidak merasa terganggu dan justru memancarkan senyuman yang manis.
“Mba selesaikan saja dulu ngajinya.”
“Sudah kok. Ada yang bisa mba bantu?”
“Sebenarnya…” Ucapanku terputus.
“Ada apa?”
“Mba kok bisa tampil cantik dengan menggunakan jilbab? Pasti banyak cowok yang suka sama mba ya?” Aisyah tersenyum sambil memandangku.
“Mba hanya mengerjakan apa yang dijelaskan dalam agama Islam. Kalau buat masalah laki-laki yang suka sama mba, mba nggak pernah memperdulikannya.”
“Kenapa mba kan cantik.”
“Tapi mba nggak mau pacaran. Mba mau nunggu ada pria yang tulus sayang sama mba dan langsung menikahi mba.”
Aku terdiam mendengar suara lembutnya mengeluarkan kalimat yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Betapa aku merasa malu kepada diriku sendiri. Aku yang sejak kecil beragama Islam tetapi aku tidak pernah mendalami agamaku sendiri, sedangkan mba Aisyah yang seorang muallaf sudah jauh mendalami Islam dibandingkan denganku.
“Mba. Aku juga ingin mengenakan jilbab. Apakah aku bisa memancarkan kecantikan dari dalam seperti mba?”
“Isyaallah bisa asalkan kamu mengenakan jilbab semata-mata karena Allah SWT. Kecantikan dari dalam itu akan terpancar dengan sendirinya jika hati kamu bersih dan kamu sering beribadah.”
Kata-katanya yang sangat menyentuh membuatku merasa nyaman. Keesokan harinya aku mulai mengenakan jilbab kemanapun aku pergi. Memamng aneh sepertinya. Tapi menutup urat lebih baik. Aku tidak mau kalah dengan mba Aisyah. Aku juga tidak mau berpacaran. Jika ada laki-laki yang menyukaiku aku ingin ia langsung menikahiku.  Aku akan berusaha menjadi seorang hamba Allah yang senantiasa bertakwa.